Khalifah Keempat: Ali bin Abu Thalib

Utsman bin Affan wafat. Warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir,
Basrah dan Kufah bersepakat memilih Ali bin Abu Thalib bin Abu ThAli bin
Abu Thalibb sebagai khAli bin Abu Thalibfah baru. Menurut riwayat, Ali
bin Abu Thalib sempat menolak penunjukan itu. Namun semua mendesak untuk
memimpin umat. Pembaitan Ali bin Abu Thalib pun berlangsung di masjid
Nabawi.
Ali bin Abu Thalib adalah salah seorang sahabat paling dekat dengan Rasulullah saw. Sewaktu kecil, Nabi Muhammad saw diasuh oleh Abu Thalib, pamannya yang juga ayah Ali bin Abu Thalib. Setelah berumah tangga dan melihat Abu Thalib hidup kekurangan, Muhammad memelihara Ali bin Abu Thalib di rumahnya. Ali bin Abu Thalib dan Zaid bin Haritsah, putra angkat Muhammad saw adalah orang pertama yang memeluk Islam, setelah Khadijah. Mereka selalu salat berjamaah.
Kecerdasan dan keberanian Ali bin Abu Thalib sangat menonjol di lingkungan suku Quraisy. Saat anak-anak, ia telah menantang tokoh-tokoh suku Quraisy yang mencemooh Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi Muhammad saw hijrah dan kaum Quraisy telah menghunus pedang untuk membunuhnya, Ali bin Abu Thalib tidur di tempat tidur Nabi Muhammad saw serta mengenakan mantel yang biasa dipakai Rasulullah saw.
Di medan perang, dia adalah petempur yang sangat disegani. Baik di perang Badar, Uhud hingga Khandaq. Namanya semakin sering dipuji setelah ia berhasil menjebol gerbang benteng Khaibar yang menjadi pertahanan terakhir Yahudi. Menjelang Rasul menunaikan ibadah haji, Ali bin Abu Thalib ditugasi untuk melaksanakan misi militer ke Yaman dan dilakukannya dengan baik.
Mengenai kecerdasannya, Nabi Muhammad saw pernah memuji Ali bin Abu Thalib dengan kata-kata: “Saya adalah ibukota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”. Kefasihan bicara Ali bin Abu Thalib dipuji oleh banyak kalangan. Rasulullah kemudian menikahkan Ali bin Abu Thalib dengan putri bungsunya, Fatimah. Setelah Fatimah wafat, Ali bin Abu Thalib menikah dengan Asmak, janda yang dua kali ditinggal wafat suaminya, yakni Ja’far (saudara Ali bin Abu Thalib) dan Klalifah Abu Bakar.
Sebagai khaliah ia mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan politik akibat pembunuhan Utsman bin Affan. Keluarga Umayah menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20 gubernur yang ada, hanya Gubernur Irak, Abu Musa Al-Asyari yang bukan keluarga Umayah. Mereka menuntut Ali bin Abu Thalib untuk mengadili pembunuh Utsman. Tuntutan demikian juga banyak diajukan tokoh netral seperti janda Rasulullah, Aisyah, juga Zubair dan Thalhah, dua orang pertama yang masuk Islam seperti Ali bin Abu Thalib.
Beberapa orang menuding Ali bin Abu Thalib terlalu dekat dengan para pembunuh itu. Ali bin Abu Thalib menyebut pengadilan sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. Ia bermaksud menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu, ia mendesak Muawiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Syam yang juga pimpinan keluarga Umayah untuk segera berbaiat kepadanya.
Muawiyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Utsman dihukum. Khalifah Ali bin Abu Thalib bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi mengingat Muawiyah tidak bersedia berbaiat kepadanya, termasuk kemungkinan yang paling buruk memerangi Muawiyah. Sejumlah sahabat penting seperti Mughairah, Saad bin Abi Waqas, Abdullah bin Umar menyarankan Ali bin Abu Thalib tidak melakukan serangan terlebih dahulu. Begitu juga sepupu Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas. Tapi Ali bin Abu Thalib berkeras untuk memeranginya, sehingga Ibnu Abbas mengeritiknya: “Anda ini benar-benar panglima perang, bukan negarawan”.
Ali bin Abu Thalib segera menyusun pasukan. Ia berangkat ke Kufah, wilayah yang masyarakatnya mendukung Ali bin Abu Thalib. Ia meninggalkan ibukota Madinah sepenuhnya, bahkan selanjutnya, langsung memimpin perang. Hal yang tak lazim dilakukan para khalifah sebelumnya. Setahun berlalu, namun pembunuh Utsman bin Affan belum juga dilakukan tindakan hukum.
Langkah ini makin mengundang kritik dari kelompok Aisyah. Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam lalu memimpin 30 ribu pasukan dari Mekah. Pasukan Ali bin Abu Thalib, yang semula diarahkan ke Syam terpaksa dibelokkan untuk menghadapi kelompok Aisyah binti Abu Bakar. Maka terjadilah peristiwa menyedihkan itu, perang sesama Muslim.
Aisyah binti Abu Bakar memimpin pasukannya dalam tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta. Maka perang itu disebut Perang Jamal. Sekitar 10 ribu orang tewas dalam perang sesama Muslim ini. Aisyah tertawan setelah tandunya penuh anak panah. Zubair tewas terbunuh di Waha Al-Sibak. Thalhah terluka dan meninggal di Basra.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Muawiyah. Ia menggantungkan jubah Utsman yang berlumur darah, serta potongan jari istri Utsman, di masjid Damaskus untuk menyudutkan Ali bin Abu Thalib. Pihaknya bahkan menuding Ali bin Abu Thalib sebagai otak pembunuhan Utsman. Muawiyah berhasil menarik Amru bin Ash ke pihaknya.
Amru seorang politisi ulung yang sangat disegani. Ia diiming-imingi menjadi Gubernur Mesir. Abdullah bin Amru yang saleh, menyarankan ayahnya untuk menolak ajakan Muawiyah. Namun Muhammad, putra Amru yang lain yang suka berpolitik menyarankan agar mengambil kesempatan itu. Amru tergoda. Ia mendukung Muawiyah untuk menjadi khalifah tandingan.
Kedua pihak bertempur di Shiffin, hulu Sungai Eufrat di perbatasan Irak-Syria. Puluhan ribu Muslim tewas. Di pihak Ali, korban sebanyak 35 ribu di pihak Muawiyah 45 ribu. Dalam keadaan terdesak, pihak Muawiyah bersiasat. Atas usulan Amru, mereka mengikat Al-Qur’an di ujung tombak dan mengajak untuk “berhukum pada Al-Qur’an”.
Pihak Ali terbelah. Sebagian berpendapat, seruan itu harus dihormati. Yang lain berpandangan itu hanya cara Muawiyah untuk menipu menghindari kekalahan. Ali bin Abu Thalib mengalah. Kedua pihak berunding. Amru bin Ash di pihak Muawiyah, Abu Musa – yang dikenal sebagai seorang saleh dan tak suka politik – di pihak Ali bin Abu Thalib. Keduanya sepakat untuk “menurunkan” Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah. Namun Amru kembali mengingkari kesepakatannya.
Situasi yang tak menentu itu membuat marah Hurkus – komandan pasukan Ali bin Abu Thalib yang berasal dari keluarga Tamim. Hurkus adalah seorang yang lurus dan keras. Caranya memandang masalah selalu “hitam putih”. Karena cara berpikirnya yang sempit, ia pernah menggugat Rasulullah saw. Sekarang ia menganggap Muawiyah maupun Ali bin Abu Thalib melanggar hukum Allah. “Laa hukma illallah (tiada hukum selain Allah)”, serunya. Pelanggar hukum Allah boleh dibunuh, demikian pendapatnya.
Kelompok Hurkus segera menguat. Orang-orang menyebut kelompok radikal ini sebagai “khawarij” (barisan yang keluar). Mereka menyerang dan bahkan membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Pembunuhan berlangsung di beberapa tempat. Mereka berpikir, negara baru akan dapat ditegakkan jika tiga orang yang dianggap penyebab masalah, yakni Ali bin Abu Thalib, Muawiyah bin Abu Suftan dan Amru bin Ash dibunuh.
Hurkus lalu menugaskan Hujaj untuk membunuh Muwawiyah di Damaskus, Amru bin Abu Bakar membunuh Amru bin Ash di Mesir serta Abdurrahman membunuh Ali bin Abu Thalib di Kufah. Muawiyah yang kini hidup dengan pengawalan ketat bagai raja hanya terluka. Amru bin Abu Bakar salah bunuh, imam yang menggantikan Amru bin Ash yang terbunuh. Di Kufah, Ali bin Abu Thalib tengah berangkat ke masjid ketika diserang dengan pedang. Dua hari kemudian ia wafat. Peristiwa itu terjadi pada Ramadhan 40 Hijriah atau 661 Masehi.
Berakhirlah model kepemimpinan Islam untuk negara yang dicontohkan Rasulullah saw. Muawiyah bin Abu Sufyan lalu menggantinya dengan menggunakan model “kerajaan” pemerintahan negara Islam. Ibukota pun dipindah dari Madinah ke Damaskus.
Sumber : www.pesantren.net
Ali bin Abu Thalib adalah salah seorang sahabat paling dekat dengan Rasulullah saw. Sewaktu kecil, Nabi Muhammad saw diasuh oleh Abu Thalib, pamannya yang juga ayah Ali bin Abu Thalib. Setelah berumah tangga dan melihat Abu Thalib hidup kekurangan, Muhammad memelihara Ali bin Abu Thalib di rumahnya. Ali bin Abu Thalib dan Zaid bin Haritsah, putra angkat Muhammad saw adalah orang pertama yang memeluk Islam, setelah Khadijah. Mereka selalu salat berjamaah.
Kecerdasan dan keberanian Ali bin Abu Thalib sangat menonjol di lingkungan suku Quraisy. Saat anak-anak, ia telah menantang tokoh-tokoh suku Quraisy yang mencemooh Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi Muhammad saw hijrah dan kaum Quraisy telah menghunus pedang untuk membunuhnya, Ali bin Abu Thalib tidur di tempat tidur Nabi Muhammad saw serta mengenakan mantel yang biasa dipakai Rasulullah saw.
Di medan perang, dia adalah petempur yang sangat disegani. Baik di perang Badar, Uhud hingga Khandaq. Namanya semakin sering dipuji setelah ia berhasil menjebol gerbang benteng Khaibar yang menjadi pertahanan terakhir Yahudi. Menjelang Rasul menunaikan ibadah haji, Ali bin Abu Thalib ditugasi untuk melaksanakan misi militer ke Yaman dan dilakukannya dengan baik.
Mengenai kecerdasannya, Nabi Muhammad saw pernah memuji Ali bin Abu Thalib dengan kata-kata: “Saya adalah ibukota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”. Kefasihan bicara Ali bin Abu Thalib dipuji oleh banyak kalangan. Rasulullah kemudian menikahkan Ali bin Abu Thalib dengan putri bungsunya, Fatimah. Setelah Fatimah wafat, Ali bin Abu Thalib menikah dengan Asmak, janda yang dua kali ditinggal wafat suaminya, yakni Ja’far (saudara Ali bin Abu Thalib) dan Klalifah Abu Bakar.
Sebagai khaliah ia mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan politik akibat pembunuhan Utsman bin Affan. Keluarga Umayah menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20 gubernur yang ada, hanya Gubernur Irak, Abu Musa Al-Asyari yang bukan keluarga Umayah. Mereka menuntut Ali bin Abu Thalib untuk mengadili pembunuh Utsman. Tuntutan demikian juga banyak diajukan tokoh netral seperti janda Rasulullah, Aisyah, juga Zubair dan Thalhah, dua orang pertama yang masuk Islam seperti Ali bin Abu Thalib.
Beberapa orang menuding Ali bin Abu Thalib terlalu dekat dengan para pembunuh itu. Ali bin Abu Thalib menyebut pengadilan sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. Ia bermaksud menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu, ia mendesak Muawiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Syam yang juga pimpinan keluarga Umayah untuk segera berbaiat kepadanya.
Muawiyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Utsman dihukum. Khalifah Ali bin Abu Thalib bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi mengingat Muawiyah tidak bersedia berbaiat kepadanya, termasuk kemungkinan yang paling buruk memerangi Muawiyah. Sejumlah sahabat penting seperti Mughairah, Saad bin Abi Waqas, Abdullah bin Umar menyarankan Ali bin Abu Thalib tidak melakukan serangan terlebih dahulu. Begitu juga sepupu Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas. Tapi Ali bin Abu Thalib berkeras untuk memeranginya, sehingga Ibnu Abbas mengeritiknya: “Anda ini benar-benar panglima perang, bukan negarawan”.
Ali bin Abu Thalib segera menyusun pasukan. Ia berangkat ke Kufah, wilayah yang masyarakatnya mendukung Ali bin Abu Thalib. Ia meninggalkan ibukota Madinah sepenuhnya, bahkan selanjutnya, langsung memimpin perang. Hal yang tak lazim dilakukan para khalifah sebelumnya. Setahun berlalu, namun pembunuh Utsman bin Affan belum juga dilakukan tindakan hukum.
Langkah ini makin mengundang kritik dari kelompok Aisyah. Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam lalu memimpin 30 ribu pasukan dari Mekah. Pasukan Ali bin Abu Thalib, yang semula diarahkan ke Syam terpaksa dibelokkan untuk menghadapi kelompok Aisyah binti Abu Bakar. Maka terjadilah peristiwa menyedihkan itu, perang sesama Muslim.
Aisyah binti Abu Bakar memimpin pasukannya dalam tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta. Maka perang itu disebut Perang Jamal. Sekitar 10 ribu orang tewas dalam perang sesama Muslim ini. Aisyah tertawan setelah tandunya penuh anak panah. Zubair tewas terbunuh di Waha Al-Sibak. Thalhah terluka dan meninggal di Basra.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Muawiyah. Ia menggantungkan jubah Utsman yang berlumur darah, serta potongan jari istri Utsman, di masjid Damaskus untuk menyudutkan Ali bin Abu Thalib. Pihaknya bahkan menuding Ali bin Abu Thalib sebagai otak pembunuhan Utsman. Muawiyah berhasil menarik Amru bin Ash ke pihaknya.
Amru seorang politisi ulung yang sangat disegani. Ia diiming-imingi menjadi Gubernur Mesir. Abdullah bin Amru yang saleh, menyarankan ayahnya untuk menolak ajakan Muawiyah. Namun Muhammad, putra Amru yang lain yang suka berpolitik menyarankan agar mengambil kesempatan itu. Amru tergoda. Ia mendukung Muawiyah untuk menjadi khalifah tandingan.
Kedua pihak bertempur di Shiffin, hulu Sungai Eufrat di perbatasan Irak-Syria. Puluhan ribu Muslim tewas. Di pihak Ali, korban sebanyak 35 ribu di pihak Muawiyah 45 ribu. Dalam keadaan terdesak, pihak Muawiyah bersiasat. Atas usulan Amru, mereka mengikat Al-Qur’an di ujung tombak dan mengajak untuk “berhukum pada Al-Qur’an”.
Pihak Ali terbelah. Sebagian berpendapat, seruan itu harus dihormati. Yang lain berpandangan itu hanya cara Muawiyah untuk menipu menghindari kekalahan. Ali bin Abu Thalib mengalah. Kedua pihak berunding. Amru bin Ash di pihak Muawiyah, Abu Musa – yang dikenal sebagai seorang saleh dan tak suka politik – di pihak Ali bin Abu Thalib. Keduanya sepakat untuk “menurunkan” Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah. Namun Amru kembali mengingkari kesepakatannya.
Situasi yang tak menentu itu membuat marah Hurkus – komandan pasukan Ali bin Abu Thalib yang berasal dari keluarga Tamim. Hurkus adalah seorang yang lurus dan keras. Caranya memandang masalah selalu “hitam putih”. Karena cara berpikirnya yang sempit, ia pernah menggugat Rasulullah saw. Sekarang ia menganggap Muawiyah maupun Ali bin Abu Thalib melanggar hukum Allah. “Laa hukma illallah (tiada hukum selain Allah)”, serunya. Pelanggar hukum Allah boleh dibunuh, demikian pendapatnya.
Kelompok Hurkus segera menguat. Orang-orang menyebut kelompok radikal ini sebagai “khawarij” (barisan yang keluar). Mereka menyerang dan bahkan membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Pembunuhan berlangsung di beberapa tempat. Mereka berpikir, negara baru akan dapat ditegakkan jika tiga orang yang dianggap penyebab masalah, yakni Ali bin Abu Thalib, Muawiyah bin Abu Suftan dan Amru bin Ash dibunuh.
Hurkus lalu menugaskan Hujaj untuk membunuh Muwawiyah di Damaskus, Amru bin Abu Bakar membunuh Amru bin Ash di Mesir serta Abdurrahman membunuh Ali bin Abu Thalib di Kufah. Muawiyah yang kini hidup dengan pengawalan ketat bagai raja hanya terluka. Amru bin Abu Bakar salah bunuh, imam yang menggantikan Amru bin Ash yang terbunuh. Di Kufah, Ali bin Abu Thalib tengah berangkat ke masjid ketika diserang dengan pedang. Dua hari kemudian ia wafat. Peristiwa itu terjadi pada Ramadhan 40 Hijriah atau 661 Masehi.
Berakhirlah model kepemimpinan Islam untuk negara yang dicontohkan Rasulullah saw. Muawiyah bin Abu Sufyan lalu menggantinya dengan menggunakan model “kerajaan” pemerintahan negara Islam. Ibukota pun dipindah dari Madinah ke Damaskus.
Sumber : www.pesantren.net
Komentar
Posting Komentar