Istanbul: Kota Impian Para Raja
Perang menjadi pilihan terakhir. Namun, penguasa kota itu Constantine Paleologus menolak seruan dakwah dan berkukuh tak mau menyerahkan Konstantinopel ke tangan Umat Islam. Paleologus lebih memilih jalan perang. Pasukan tentara Bizantium dibantu Kardinal Sidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa, siap menghadapi meriam-meriam tercanggih dan 130 ribu tentara Muslim.
Lantaran tawarannya ditolak, Sultan ketujuh dari Kesultanan Utsmaniyah itu pun mulai mengobarkan semangat jihad. Gema takbir terus membahana seiring derasnya serangan yang dilancarkan pasukan Sultan Muhammad II ke benteng Bizantium yang kokoh. Pertempuran hebat pun meletus.
Kesultanan Utsmani dengan strategi, teknologi perang, serta kepemimpinan militer yang tangguh, dan 130 ribu pasukan akhirnya berhasil membungkam kepongahan Bizantium. Setelah 53 hari berjibaku angkat senjata, dengan semangat jihad pasukan Sultan Muhammad akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel.
Harapan dan impian umat Islam untuk menundukkan Bizantium yang telah dirintis sejak tahun 664 M akhirnya tercapai. Kemenangan yang tertunda selama 800 tahun itu akhirnya tiba juga. Sejak saat itu, bendera Kesultanan Utsmani yah berkibar di langit Konstantinopel, kota impian para raja, kaisar dan sultan.
Konstantinopel pun memasuki era baru. Kota itu lalu berganti nama menjadi Istanbul yang berarti “kota Islam”, sekaligus menjadi ibukota Kesultanan Utsmaniyah. Sebuah momentum penting dalam sejarah dunia. Kali pertama menduduki kota penting itu, Kesultanan Utsmaniyah mulai menegakkan hukum di kota itu.
Tak ada pembantaian terhadap penduduk Konstantinopel. Bahkan, pemerintahan Islam Utsmani bekerja sama dengan umat Kristen untuk kembali membangun perekonomian, menjalin persahabatan dengan Yunani. Kesultanan Utsmani juga terus mengepakkan sayap kekuasaannya ke wilayah Mesir, Arabia, dan Syiria. Yang tak kalah pentingnya, Kesultanan Utsmani menyebarkan ajaran Islam hingga ke kawasan Balkan.
Seiring dengan menancapnya dominasi Islam, wajah bekas kota Konstantinopel itu pun berganti rupa. Bangunan masjid bermunculan, namun tetap dengan corak arsitektur Bizantum yang khas. Tak heran, jika pengaruh Bizantium ikut mewarnai gaya arsitektur Islam di Turki. Kemegahan bangunan Gereja Aya Sofia banyak mewarnai arsitektur masjid di Istanbul.

Guna menambah jumlah penduduk Muslim di Istanbul, umat Islam yang tinggal di Anatolia dan Rumeli dianjurkan untuk bermigrasi ke Istanbul. Akhir 1457 M, migrasi besar-besaran terjadi dari Edirne bekas ibu kota Kesultanan Utsmaniyah ke Istanbul. Pada 1459 M, kota terbesar di Eropa itu dibagi menjadi empat wilayah administratif.
Sebagai sebuah kota besar pada zamannya, di Istanbul pun berdiri berbagai sarana dan prasarana publik. Tak kurang ada 81 masjid besar serta 52 masjid berukuran sedang di kota itu. Untuk mendidik para generasi muda, tersedia 55 madrasah, tujuh asrama besar untuk mempelajari Al-Qur’an.
Fasilitas sosial pun bermunculan, tak kurang lima takiyah atau tempat memberi makan fakir miskin berdiri. Tiga rumah sakit disediakan untuk mengobati penduduk kota. Tujuh buah jembatan juga dibangun untuk memperlancar arus transportasi. Guna menunjukkan kejayaannya, Kesultanan Utsmaniyah membangun 33 istana dan 18 unit pesanggrahan.
Selain itu, 33 tempat pemandian umum juga telah disediakan di berbagai penjuru kota. Untuk menyimpan benda-benda bersejarah, pemerintah Utsmani pun menyediakan lima museum. Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai “kiamat kecil”.
Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu membahu membangun kembali kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya, kota Istanbul kembali tampil megah dan gagah.
Pada tahun 1727 M pada masa Ibrahim Muteferika -seorang ilmuwan terkemuka- di Istanbul dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain al-qur’an, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak. Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah, dan lainnya dicetak. Apalagi mulai 1727 M sudah mulai berdiri badan penerjemah.
Sayangnya, ketika Imperium Utsmani memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan. Daulah Utsmani lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan, ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan.
Seiring kemunduran yang dialami Kesultanan Utsmaniyah, Turki akhirnya berubah haluan menjadi negara sekuler pada 1923. Di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk, sekulerisme menjadi ideologi negara. Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin.
Dakwah diawasi. Bahkan pada 1925 M, Kemal Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia. Kini angin segar kembali berhembus di Istanbul. Muslimah kini diperbolehkan lagi mengenakan jilbab.
SULTAN MUHAMMAD II : Sang Penakluk Konstantinopel

Itu berarti, Sultan Muhammad II tampil secara gemilang memimpin ratusan ribu tentara Muslim menggempur ibukota Bizantium pada usia 21 tahun. Sebuah pencapain yang begitu gemilang. Ketika Sultan Muhammad terlahir ke dunia, kedua orangtuanya sudah melihat isyarat bahwa sang buah hati akan menjadi pimpinan besar.
Menjelang kelahirannya, sang ayah -Sultan Murad- juga sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk menggempur imperium Bizantium yang berbasis di Konstantinopel. Seorang ulama besar Syekh Syamsuddin Al-Wali dari Khurasan sudah melihat tanda-tanda pada bayi yang diberi nama Muhammad itu.
Syekh Syamsuddin Al-Wali pun mendidik dan membimbing Sultan Muhammad II sejak masih kecil hingga menemaninya ke medan pertempuran untuk menaklukkan Konstantinopel. Sultan yang bergelar Al-Fatih atau “Sang Penakluk” itu digembleng dengan pendidikan tarekat sufi dan keterampilan berperang. Ia didik dengan disiplin tinggi dan keras.
Sehingga, Sultan Muhammad II sudah terbiasa dalam hidup susah dan menahan hawa nafsu. Ujian dan latihan yang dilaluinya sejak masa kecil itu, kelak membuatnya menjadi seorang pemuda berjiwa kuat dan tahan banting. Semua itu dipersiapkan demi untuk menepati janji Sang Pencipta melalui Rasulullah SAW, yakni menaklukkan Konstantinopel.
Pelajaran teknik dan strategi perang didalaminya dari sejumlah panglima berpengalaman. Menginjak usia 19 tahun, Pengeran Muhammad akhirnya didaulat menjadi sultan. Sebelum sukses menjebol benteng Bizantium, dia mendidik tentara dan rakyatnya agar menjadi orang-orang bertaqwa. Bermodalkan itulah, dia mammpu menggerakkan semangat para tentaranya untuk berjuang menegakkan janji Tuhan. Merebut Konstantinopel dari kekuasaan Bizantium. Janji itu akhirnya terbukti.
Sumber : Republika, 5 Maret 2008
Komentar
Posting Komentar